Radikalisme terus menyebar ke berbagai institusi, tak terkecuali perguruan tinggi. Sejumlah mahasiswa dan dosen disinyalir terpapar radikalisme, di antara mereka ada yang bergabung dengan gerakan radikal yang dapat mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, masalah radikalisme, ekstremisme, intoleransi, dan terorisme masih menjadi perhatian publik. Sebagaimana dimafhumi bahwa radikalisme, ekstremisme, dan terorisme sebenarnya bukanlah masalah baru. Namun, kini fenomena tersebut cukup mengkhawatirkan, khususnya di lingkungan kampus.
Berdasarkan riset Alvara Research Center pada Oktober 2017 menyebutkan 23,5 persen menyetujui gerakan Negara Islam Irak dan Suriah. Selain itu, 23,4 persen menyetujui kesiapan untuk berjihad mendirikan khilafah. Penelitian tersebut melibatkan 1.800 responden dari 25 universitas se-Indonesia.
Sementara itu, riset Setara Institute menyatakan, 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia terpapar radikalisme. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Menristek Dikti, Mohamad Nasir yang menyebut sebanyak 10 perguruan tinggi terpapar radikalisme sudah sejak lama (6/3/2025).
Kesepuluh perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Mataram.
Yang menarik adalah, sebagian besar yang paling rentan terpapar radikalisme adalah mereka yang mengambil prodi eksakta dan kedokteran. Hal tersebut disampaikan oleh Hamli, selaku direktur Pencegahan BNPT dalam seminar tentang radikalisme yang diselenggarakan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (25/5/18). Kenapa demikian? Bagaimana sebenarnya pola penyebaran radikalisme di perguruan tinggi?
Berdasarkan riset Setara Institute pula, penyebaran radikalisme di perguruan tinggi, beberapa di antaranya dimulai saat mahasiswa baru pertama kali masuk lingkungan kampus. Gelombang radikalisme tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif yakni kelompok salafi-wahabi dan tarbiyah. Umumnya, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) menjadi sarana awal pengenalan paham tersebut.
Menurut Ulul Huda dkk, dalam Jurnal LPPM Unsoed Purwokerto disebutkan, kelompok tersebut memberikan pemahaman kepada mahasiswa melalui berbagai tempat, seperti kos-kosan, masjid, asrama, mushala fakultas, dan masjid kampus dengan metode mentoring. Pada mulanya, doktrin utamanya tidaklah diperlihatkan, tetapi secara perlahan mereka memasukkan ideologinya dengan halus dan tidak terasa, yang akhirnya mahasiswa akan mengikuti mereka.
Sewaktu penulis di kampus dulu, penulis kerap menjumpai praktik mentoring seperti yang disebutkan di atas. Biasanya, hal tersebut memang lumrah terjadi pada mahasiswa baru yang masih awam terkait dunia kampus. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan sekolah umum yang dulunya pernah aktif di Rohis sekolah. Salah satu mahasiswi yang pernah penulis tanyakan, sewaktu di sekolah memang sudah diarahkan oleh pembina rohisnya untuk bergabung dengan Lembaga Dakwah Kampus.
Maka dari itu, jelaslah bahwa penyebaran radikalisme di perguruan tinggi dilatarbelakangi oleh pemikiran sempit yang bersifat fanatik ala salafi-wahabi dan tarbiyah. Setelah itu, dilakukan pendekatan intensif melalui kegiatan mentoring atau kelompok-kelompok kecil, sampai mereka benar-benar yakin dan percaya bahwa apa yang dilakukan kelompok mereka adalah yang paling benar, serta menganggap kelompok yang lain salah, sesat, dan kafir. Apabila kondisi ini telah tercipta dan menemukan momentumnya, maka mulai dimasukkanlah paham radikalisme, yang pada akhirnya mengubah pola pikir radikal dan berakibat pula pada tindakan radikal. Lantas, bagaimana cara menanggulangi radikalisme di perguruan tinggi?
Berkaca pada kejadian di atas, maka perguruan tinggi perlu melakukan upaya preventif terhadap tumbuh kembangnya radikalisme di kalangan mahasiswa. Sebab, mahasiswa diharapkan menjadi ujung tombak dalam menangkal radikalisme yang tumbuh di masyarakat kelak. Bukan malah menjadi agen penyebar radikalisme. Karenanya, perguruan tinggi dapat menanggulangi radikalisme melalui beberapa program berikut.
Pertama, penguatan kembali mata kuliah yang punya kaitan dengan penguatan kebangsaan. Misalnya, mata kuliah Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Sejarah. Perguruan tinggi harus terus mengajarkan Pancasila sebagai ideologi negara dengan baik, serta mengamalkan 4 pilar kebangsaan, yakni Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, kampus harus memberikan ruang kebebasan akademik. Artinya, kampus menyediakan mimbar akademik untuk paham-paham radikal agar ada pembandingnya. Sebab, radikalisme itu justru tumbuh di ruang-ruang di mana kebebasan akademik tidak berkembang. Ketika forum-forum akademik itu sedikit, sebenarnya di situlah narasi-narasi radikalisme atau anti negara berkembang secara perlahan. Jika mimbar akademik dibuka selebar-lebarnya, maka dengan sendirinya, narasi radikalisme terbantahkan.
Ketiga, kampus harus mengontrol lembaga mahasiswa seperti LDK, juga sarana-sarana umum seperti masjid agar tak dijadikan tempat mentoring. Sebab, melalui lembaga resmi di kampus seperti LDK itulah, mereka leluasa melakukan program rekrutmen dan kaderisasi bagi tumbuh kembangnya radikalisme.
Terkahir, membudayakan kegiatan pengajian yang penuh perdamaian. Mendatangkan ulama-ulama yang memiliki wawasan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin, seperti Habib Lutfi, Gus Mus, KH. Husein Muhammad dan lain-lain.
Di samping itu, sebagai mahasiswa harus mempunyai imunitas yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan paham radikal. Membekali diri dengan jiwa nasionalisme, kecintaan Tanah Air, serta perdalam wawasan keagamaan yang moderat, inklusif, dan toleran.
Sekali lagi, perguruan tinggi perlu memberikan perhatian yang serius terhadap bahaya radikalisme. Kewarasan akademis harus terus dijaga oleh segenap civitas akademika kampus, agar lahir generasi muda yang benar-benar memperhatikan kebersamaan hidup berbangsa dan terhindar dari radikalisme.