Nasihat

Meneladani Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

3 Mins read

Pada tahun 622 M bertepatan tahun ke-13 kenabian. Nabi Muhammad SAW mulai memerintahkan para sahabatnya, hijrah secara sembunyi-sembunyi menuju Yastrib (Madinah). Sebelum pergi meninggalkan rumah. Nabi Muhammad SAW memerintahkan Sayyidina Ali untuk menggantikan posisi tempat tidurnya, dan mengenakan selimut hijau yang biasa digunakan Nabi SAW. Beliau berkeyakinan tidak akan terjadi apa-apa terhadap Ali bin Abi Thalib. Mendapatkan mandat dari Rasulullah SAW, Ali menjalankan apa yang diperintahkan Nabi, walaupun hal tersebut dapat mengancam nyawanya.

Sayyidina Ali bin Thalib lahir sekitar 13 rajab 23 pra Hijriah/ 599 M dan wafat 21 Ramadhan 40 H/ 622 M. Ia adalah salah satu pemeluk Islam pertama dan juga menantu Nabi SAW, setelah menikah dengan Fatihah az-Zahra. Ali salah satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Setelah Sayyidina Ustman wafat, Sayyidina Ali dibaiat menjadi khalifah ke-4 di masjid Nabawi, pada 25 Zulhijah 35 H. Ali memerintah hampir selama enam tahun 35 H hingga 40 H.

Di bawah asuhan Rasulullah SAW secara langsung, terbentuklah sifat-sifat yang luhur dan mulia dalam diri Ali. Sangat terlihat ketika ia menjadi pemimpin dengan tanggung jawab dan amanah. Dalam kepemimpinannya menjadi khalifah, Ali sangat konsisten dalam melakukan keteladanan sebagai pemimpin. Ia tetap teguh mengatakan kebenaran itu benar dan kesalahan itu salah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib adala sosok yang yang pertama kali menancapkan pilar titik temu. Saat Abu Bakar Shiddiq dibaiat sebagai khalifah Nabi dan pemimpin umat Islam dalam pertemuan Tsaqifah. Demi menghindari konflik antara kelompok Abu Bakar Shiddiq, dan pihak dari Bani Hasyim yang menganggap Sayyidina Ali bin Thalib berhak menjadi khalifah. Sayyidina Ali yang memiliki pendirian yang kuat untuk persatuan dan kepentingan umat Islam. Ia mengedepankan kepentingan umat daripada kepetingan pribadi.

Walaupun Sayyidina Ali didukung untuk menjadi khalifah. Ia tetap memberikan dukungan kepada Abu Bakar Shiddiq, yang terpilih sebagai pengganti Nabi, sembari berkata, “Kami tidak meragukan lagi kebaikan dan kebajikan yang sudah Allah SWT anugerahkan kepadamu. Dalam hal ini, kami memandang adanya persoalan yang hanya kamu bisa menyelesaikan, bukan orang lain. Kami sama sekali tidak mengingkari kemulianmu”.

Sikap Sayyidina Ali yang memiliki komitmen kuat menjaga persatuan umat Islam sangat ditonjolkan. Lihat saja, ia lebih mementingkan keadaan untuk tetap damai. Tidak ada percekcokan ketika Abu Bakar Shiddiq dipilih menjadi khalifah. Padahal, jika Sayyidina Ali mementingkan ego untuk menjadi khalifah. Bisa saja terjadi perpecahan di anatara pendukung Abu Bakar Shiddiq dan Sayyidina Ali.

Sayyidina Ali dikenal sebagai pemimpin yang sederhana, rendah hati, dan bersahaja. Posisinya sebagai khalifah tidak memisahkan jurang yang jauh dengan rakyatnya. Dilihat dari fenomena saat ini, banyaknya para pemimpin, apabila mereka telah menjadi pemimpin. Sudah jarang bahkan tidak mau lagi berbaur dengan rakyatnya. Berbeda jauh ketika momen-momen pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Banyaknya para calon pemimpin hanya mencari citra kepada rakyatnya. Seolah-seolah menunjukkan kepada mereka dekat dengan rakyatnya. Demi meraup suara dalam pemilihan saja. Setelah itu, hilang entah kemana.

Kerendahan hati Ali sebagai pemimpin, senada dengan yang diungkap oleh Maxwel, The best leaders are humble enough to realize their victories depend upon their people (Para pemimpin yang terbaik, cukup dengan rendah hati untuk menyadari bahwa kemenangan-kemenangan mereka bergantung pada orang-orang yang dipimpinnya). Apa yang dipaparkan oleh Maxwell ini, telah lebih dahulu diungkapkan oleh Rasulullah SAW, dalam sabda beliau yang berbunyi: Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusann kepadamu. Maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki pertama sampai engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka, engkau tahu bagaimana engkau memberikan keputusan. (Hr. Turmudzi).

Dari kisah yang disebutkan Imam az-Dzahabi ini, Sayyidina Ali sebagai pemimpin, senang melihat dan terjun langsung ke masyarakat khususnya pasar. Hal ini dilakukan dalam rangka, supaya para penjual yang melakukan transaksi tidak melakukan kecurangan. Bahkan pada riwayat lainnya diceritakan, ia tidak segan-segan untuk menunjukkan suatu arah. Apabila ada orang yang tersesat dalam suatu perjalanan. Padahal, Ketika itu posisi Ali, sebagai seorang khalifah atau pemimpin negara. Apakah ada seorang pemimpin, seperti Sayyidina Ali untuk saat ini?

Kredibiltas Sayyidina Ali pun diakui oleh para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Dalam segi keilmuan mereka (sahabat) memberikan apresisasi tinggi terhadap Sayyyidina Ali. Di antara ucapan mereka, “Jika tidak ada Ali bin Abu Thalib, niscaya Umar bin Khattab akan binasa”. Bahkan ada ungkapan yang berbunyi, “Jika Sayyidina Ali memimpin mereka, niscaya mereka akan dibawa ke tempat yang cerah” dan “Tidak ada seorangpun berani berfatwa di masjid, sedangkan di sana ada Ali bin Abi Thalib”.

Rasulullah SAW pun mengakui akan keuilmuan Sayyidina Ali. Tembang Syair yang terkenal dari Hadis, Ana Madinatul Ilm wa Aliyyun babuha. Faman arodal madinah, fal yatiha min babiha. (Saya adalah Lautan Ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Siapa yang ingin mendapatkan ilmuku, maka datanglah dari pintunya). “Pintu” yang dimaksud, ialah sosok Sayyidina Ali. Keilmuannya mendapat pujian langsung dari Rasulullah SAW.

Sosok Sayyidina Ali sebagai pemimpin adalah dambaan umat saat ini. Perilaku dan sikap yang biasa Sayyidina Ali lakukan, tak jauh dari apa yang telah Rasulullah SAW ajarkan. Karena sebagian besar hidupnya selalu bersama Rasulullah SAW. Pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Tidak ada jurang pembatas antara rakyat dan pemimpin. Ironisnya, pemimpin saat ini. Apabila telah terpilih menjadi pemimpin, mereka hanya sibuk mengurus proyek serta bagaimana caranya, bisa mengembalikan modal besar yang habis dipakai untuk kampanye. Pada akhirnya, banyaknya kasus pemimpin daerah yang terjerat kasus korupsi. Suatu pemandangan yang sangat menyedihkan.

Namun, kepemimpinan Sayyidina Ali telah menjadi teladan. Bagi siapa saja yang berkeinginan menjadi pemimpin, atau pun tidak. Sosok pemimpin yang sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Tidak gila akan kehormatan dengan gelar seorang pemimpin. Semua telah Ali contohkan dalam kehidupannya. Masih banyak lagi kisah teladan dari sosok menantu Rasulullah SAW ini, bahkan sahabat lainnya. Sekarang tugas kita adalah meneladani Imam Ali bin Abi Thalib dalam kehidupan sehari-hari.

Related posts
KolomNasihat

Cara Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan…
Dunia IslamKolomNasihat

Demokrasi Pancasila itu Islami

Demokrasi memang telah mengantarkan Dunia Barat mencapai kemajuan menuju kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, bagaimanapun demokrasi sebagai sebuah sistem pembangunan negara belum mencapai…
KolomNasihat

Pengendalian Diri di Tengah Pandemi

Sepekaan belakangan ini, media kita dipenuhi dengan berita lonjakan kasus Covid-19, keterbatasan fasilitas kesehatan, dan angka kematian pasien. Kita cukup sepakat bahwa…