Konflik Tantangan bagi Jalan Perdamaian

0
0
WhatsApp
Twitter

Pidato Donald Trump Di Gedung Putih, Amerika Serikat, Rabu (06/12/2024), yang mengklaim secara sepihak kota suci Kerajaan Daud, Yerussalem sebagai ibu kota Israel, membuat dunia Islam meradang. Bentuk keangkuhan Donald Trump itu tentu saja semakin menjauhkan perdamaian dan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Selain itu, hal tersebut juga telah melanggar konsesnsus internasional.

Belum lagi, ditambah gejolak konflik Timur Tengah yang terus menerus mewarnai media. Seolah pertanyaan kapan terjadi perdamaian di antara negara Timur Tengah itu tidak pernah terjawab hingga sekarang ini.

Situasi tersebut membuat kita menjadi semakin menyadari, betapa pentingnya nasionalisme Pancasila yang telah mempersatukan kita selama 75 tahun pascakemerdekaan. Kedamaian dalam harmoni perbedaan, masih terus kita nikmati di seluruh wilayah Indonesia, dari tiitk nol Sabang hingga Merauke. Perdamaian yang sampai hari ini bisa kita isi dengan berbagai kegiatan. Seperti, beribadah kapanpun kita mau, menuntut ilmu di manapun, bekerja apapun, bermain game melalui berbagai perangkat teknologi, menikmati kopi di pagi hari, menulis artikel, kolom, atau buku, konsolidasi politik, mengelola organisasi, menjalankan bisnis, dan segala macam aktivitas dan kesibukan lainnya.

Jika kita membaca berbagai literatur tentang peliknya konflik Timur Tengah, beberapa aktivitas peperangan yang terjadi di sana adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan sekaligus memprihatinkan dunia Islam. Peristiwa itu dilatarbelakangi atas deklarasi pembentukan negara Israel, pada 14 mei 1948, yang dilanjutkan dengan perang Arab-Israel hingga persetujuan gencatan senjata pada Tahun 1949.

Setelah itu berbagai problematik tumbuh subur di Timur Tengah. Mulai dari perang suez Tahun 1956, pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada bulan mei 1964, perang enam hari Tahun 1967, resolusi Khartoum, pendudukan jalur Gaza oleh Mesir, dan pendudukan Tepi Barat oleh Yordania. Selain itu, perjanjian nasional Palestina pada Tahun 1968 yang menuntut pembekuan Israel, war of attrition pada tahun 1970, perang Yom Kippur Tahun 1973, dan kesepakatan damai Mesir-Israel di Camp David pada Tahun 1978. Ditambah lagi, perang Lebanon 1982, terjadinya intifada yang pertama pada Tahun 1987 berlangsung hingga 1991, perang Teluk pada Tahun 1990-1991, dan berujung pada perjanjian damai Oslo antara PLO-Israel pada tahun 1993.

Kenyataannya, hingga sekarang ini, kobaran api perang masih terus bergulir di Timur Tengah, bahkan sampai ke Afrika. Insiden demi insiden terus berlangsung. Tidak lain, akibat propaganda, adu domba sesama ahli kiblat, depolitisasi agama, dan provokasi yang menaikkan tensi sosial untuk mengguncang perpolitikan negara setempat.

Jika kita tinjau lebih dalam, situasi konflik yang terus tumbuh sumbur di Timur Tengah, pada dasarnya adalah sikap takfiri dari beberapa pihak umat Islam, bisa kita sebut pola pikir Khawarij pada abad ini (neo-Khawarij). Bagaimana ciri-cirinya? Berikut penulis singkap satu-persatu, untuk menandai orang-orang dengan ciri demikian yang perlu kita sadarkan dan berikan pemahaman yang positif dalam menjalankan roda kehidupan.

Pertama, menganggap pelaku yang melakukan dosa besar adalah ahli neraka dan tidak dapat diampuni, sebagaimana Khawarij terdahulu.

Kedua, siapapun kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka, baik secara personal, ulama, cendekiawan dan lainnya, maupun kelompok majelis, ataupun organisasi, maka dianggap kafir.

Ketiga, menganggap hukum Allah mutlak hanya dilihat dari teks, tanpa perincian yang jelas secara tafsir dan makna yang terkandung, kemudian menganggap kafir bagi yang tidak mengikuti pendapat mereka.

Keempat, mengkafirkan bagi siapa saja yang memiliki pemahaman nasionalisme kebangsaan, demokrasi, sekulerisme, komunisme, liberalisme, pluralisme dan semacamnya.

Kelima, menyatakan taghut (berhala) pada simbol-simbol negara, seperti garuda Pancasila, bendera merah putih, Bhineka Tunggal Ika, presiden, aparat sipil negara (PNS), aparat keamanan negara (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), baik secara person, maupun secara lembaga.

Dan yang terakhir, mewajibkan pengakkan syariat sebatas markah, perilaku makar serupa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bercita-cita mendirikan khilafah di Indonesia, dan beberapa pihak yang berusaha mengampanyekan negara Islam di Indonesia.

Gambaran perilaku yang telah disebutkan secara terperinci di atas, adalah bentuk radikalisme Islamis-fundamentalistik yang berefek pada disintegrasi dan menggoyahkan stabilitas nasional. Kedamaian tidak akan berlangsung lama di bumi Nusantara ini jikalau masih saja meributkan hal-hal yang tidak substantif. Niscaya, orang yang mempunyai karakter radikal, jiwanya tidak akan pernah damai. Prof. Quraish Shihab dalam karyanya pada Tahun 2002, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Quran, mencatat, bahwa Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai.

Jadi terang-benderang, siapa saja yang berperilaku demikian, sudah dapat dipastikan akan berbenturan dengan negara dan sesama umat Islam. Dan hal ini akan terus ada laksana bola salju yang menggelinding, kemudian menjadi besar. Silahkan anda analisis sendiri, siapa saja yang berperilaku serupa dengan apa yang penulis paparkan di atas?

Maka kita perlu waskita, apa yang kita pahami hari ini, cobalah untuk mengingatkan saudara-saudara kita itu yang sudah terlanjur terperosok ke jurang pemikiran sempit itu, sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, seperti di Timur Tengah, menimpa pula di Tanah Air kita.

Suara kebenaran dan suara pembelaan terhadap nasionalisme kebangsaan, harus kita terus kumandangkan, sampai generasi di masa depan . Insya Allah, keberlangsungan (continuity) perdamaian selamanya, bahkan jalan menuju masa depan kampiun peradaban secara “radikal” bukanlah isapan jempol, selama belenggu cinta Tanah Air, dan rasa memiliki terhadap bangsa, tertanam dalam hati kita semua.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here