Menolak lupa kejahatan sindikat saracen penyebar hoaks. Jagat siber (wahana berbasis internet) sempat diricuhkan oleh peristiwa saracen sindikat, sebagai lahan bisnis mengeruk uang. Masyarakat dibuat resah dan lunglai oleh informasi hoaks yang tak terkendali. Sampai pada pemerintah turut andil dan berhasil menagkap mafia penyebar hoaks tersebut. Insiden ini mungkin bisa terjadi lagi dan berdampak lebih buruk. Jika masyarakat masih belum kritis mengelola informasi di ruang siber.
Pada tahun 2017 yang lalu, Indonesia digemparkan dengan misi besar sindikat saracen. Awal tujuan dari sindikat tidak lain untuk kebutuhan ekonomi semata. Berbekal mengausai keahlian bidang IT, mereka memanfaatkan media sosial sebagai lahan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan sindikat saracen sebagai penyedia jasa konten kebencian isu SARA, terus diusung berikut para pemesan yang membayarnya.
Hingga kini, ulah sindikat saracen hiruk pikuknya masih terasa di media sosial. Kendati tak segaduh seperti sebelumnya, masyarakat masih belum sadar betul akan informasi hoaks dan provokasi yang berseliweran di jagat media. Modus yang dibuat kian menjadi-jadi, makin terasa nikmat dan diminati para user untuk diperbincangkan.
Sebagai penyedia jasa, sindikat saracen tentu akan menuruti semua keinginan pemesan jasanya. Lumrahnya, mafia tersebut (pemesan berita hoaks dan kebencian) akan meminta sindikat saracen, agar memframing berita atau informasi untuk tujuan tertentu. Dalam situasi politik, mereka akan memanfaatkan sindikat saracen untuk menjatuhkan lawannya. Mereka berperang dengan cara licik, yakni memprovokasi opini publik agar lawan politiknya terlihat buruk image-nya di pandangan khalayak masyarakat.
Walaupun tidak seutuhnya benar. Salah satu yang patut dikritisi bagi pengguna media sosial saat ini, yakni mereka lebih memilih menjadi korban dan menyalahkan ulah para penjahat media maya. Ketimbang membenahi diri untuk teliti dan menambah pengetahuan dari sumber yang valid, tetapi perkara ini diabaikan olehnya.
Sebagaimana kesuksesan misi sindikat saracen yang merenggangkan sosial masyarakat, baik di media sosial atau di dunia nyata. Tak disangkal, kejahatan yang dilakukan sindikat saracen ini sangat profesional dan terstruktur. Para pekerja kriminal ini berbagi peran, untuk melancarkan misinya dalam adu domba.
Menurut Kabag Mitra Devisi Humas Polri Kombes Awi Setiyono (8/17) menuturkan, grup saracen yang bergabung terdeteksi berjumlah 800.000 lebih, satu ponsel saja yang berhasil disita polisi ditemukan 50 SIM card, lima hardisk dan falshdisk, dan dua memorycard. Karena peristiwanya sudah berlalu, kita bisa membayangkan dengan sadar. Opini yang ramai dan menggiring publik dengan banyaknya jumlah akun tersebut, akan mudah membuat tensi publik langsung naik
Ibarat hujan paku, akun-akun itu akan menghujami pengguna media sosial, sehingga tidak bisa berkutat. Begitu pun dengan opini, jika seluruh isi media dipenuhi dengan konten demikian, sepertinya publik tak memiliki jalan lain, selain mempercayainya.
Mafhumnya, kita adalah bagian dari permainan adu domba para mafia pemesan hoaks dan penebar kebencian di media sosial. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita untuk selalu waspada dan tidak mudah meluap-luap. Misalnya, ada informasi berunsur provokasi dan propaganda di media sosial. Apalagi menelan mentah-mentah informasi tanpa memfilter dan mengkritisinya.
Kejahatan di media sosial akan selalu ada, kini dan nanti. Harapan bersama, upaya memberantas dan lepas dari peristiwa tersebut, tidak lain memulai dari diri sendiri. Andai kata tidak bisa diberantas sampai akar. Namun, kita dapat mengabaikan informasi modus yang mereka sebar. Jika yang mereka usahakan tak lagi laku di pasaran media sosial, tentu sindikat saracen dan penebar hoaks akan terberantas dan hilang dengan sendirinya.