Moderatisme adalah jalan tengah dalam pengambilan suatu ide, tatkala kita dihadapkan pada dilematis atas ide-ide lain. Dengan kata lain, kompromistis atau kooperatif. Dalam arti lebih luas, kita dapat menemukan moderatisme menjadi diskursus dalam konsep toleransi, khususnya di Indonesia.
Konsep moderat, menjadi salah satu khazanah terbentuknya kemerdekaan Indonesia yang beragam, baik agama, suku, budaya, maupun bahasa. Sejarah mencatat, Indonesia pra-merdeka melewati beberapa masa pergerakan nasional, dengan ditandai berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Diantaranya, masa pembentukan (1908-1920), masa radikal atau non-kooperasi (1920-1930), dan masa moderat atau kooperasi (1930-1942). Pada masa ini berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, GAPI, organisasi keagamaan, pemuda, dan organisasi perempuan.
Indonesia, dalam perjalanannya dari masa ke masa tidak pernah terlepas dari tradisi dan kearifan lokal masyarakatnya yang menjunjung sikap moderat dalam berbangsa dan bernegara. Minimnya konflik dan pertumpahan darah menjadi bukti, jalan tengah dan musyawaroh menuju mufakat sudah mendarah daging masyarakat Indonesia dalam setiap penyelesaian masalah.
Hal serupa, pernah terjadi dalam persoalan sila pertama Piagam Jakarta (Jakarta Charter), sebuah konsep fundamental berbangsa dan bernegara. Islam sebagai agama terbesar pemeluknya, menghendaki Indonesia sebagai negara berasaskan syariat Islam. Namun, tokoh-tokoh Kristen, Hindu, Budha, dan agama-agama minoritas lainnya ikut andil dalam perlawanan dan perjuangan mengusir kolonialisme dan imperialisme, sehingga adanya sila pertama Piagam Jakarta dapat menimbulkan diskriminasi terhadap agama minoritas.
Oleh sebab itu, panitia BPUPKI mengambil jalan moderat dengan menghapus tujuh kata sila pertama Piagam Jakarta, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Demikianlah, ikhtiar yang mesti terus membumi dalam jati diri bangsa Indonesia, sehingga kemerdekaan yang diperjuangankan dengan darah ribuan pahlawan, tidak tergerus jaman dan selalu dikenang.
Agustus, menjadi bulan yang kedatangannya di nanti dan selalu di kenang dalam ingatan rakyat Indonesia. Pada bulan ini, 75 Tahun yang lalu, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan founding fathers, dengan semangat kemerdekaan dan perjuangan yang menggetarkan seantero dunia.
Selama hampir delapan dekade ini, kita merayakan kemerdekaan Indonesia. Tidak terlepas dari komitmen antar individu, kelompok, dan multi-agama yang selalu memegang teguh persatuan. Tak terkecuali, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sebagai organisasi Islam terbesar, sejak berdirinya, NU dan Muhammadiyah mempunyai misi merawat moderasi dalam berbangsa dan bernegara.
NU misalnya, dengan konsep Islam Nusantara telah menunjukkan kepada dunia. Karakteristik Islam ala Indonesia yang wasatiyah (moderat) sebagai manhaj al-fikr. Yang merupakan representasi kesempurnaan Islam yang ramah, inklusif, akomodatif, toleran, dan dapat hidup berdampingan dengan agama-agama lain. Sebagaimana pendapat Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, “NU akan terus mengukuhkan langkah-langkah kemandirian yang berakar pada embrio tahswirul afkar sebagai pergerakan di bidang dinamisasi pemikiran”, sehingga terhindar dan dapat menangkal paham-paham Islam yang marah dan haus pertumpahan darah.
Oleh karena itu, menyambut kemerdekaan Indonesia ke-75 tahun ini, NU dan Muhammadiyah akan selalu serta melestarikan konsep moderasi Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan dalam berbangsa dan bernegara. Melawan dan mengecam keras terhadap paham-paham transnasional yang berniat menghancurkan keharmonisan Bhineka Tunggal Ika dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.