Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Definisi yang diusung Abraham Lincoln ini ibarat shortcut yang mengantarkan kita pada makna demokrasi. Dibandingkan dengan definisi lain, pemaknaan tadi lebih earcathing, bukan? Sedikit elaborasi, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan ruang gerak bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Unjuk rasa yang kerap dilakukan oleh berbagai kalangan, adalah salah satu bukti nyata partisipasi rakyat dalam proses bernegara, sekaligus interpretasi dari demokrasi. Jadi, kita sah-sah saja mengajukan kritik maupun pandangan terhadap pemerintah.
Otoritas rakyat dalam urusan pemerintahan inilah yang kemudian menjadi kritik utama yang dilancarkan rekan-rekan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Mereka bersikukuh bahwa kedaulatan untuk membuat hukum hanya di tangah Allah Swt.
Bahkan, kita selaku konsumen demokrasi dianggap kafir. Hal ini merupakan implikasi logis dari klaim mereka bahwa demokrasi adalah sistem kafir. Padahal, menilai kafir tidaknya seseorang adalah hak Allah Swt semata.
Maka dari itu, mereka gigih menyuarakan penerapan khilafah—satu-satunya sistem pemerintahan yang katanya diamini syariat—di negeri ini. Meskipun secara resmi telah dibubarkan pada 2017 lalu, bukan berarti upaya indoktrinasi mereka surut. Mereka bergerak di bawah tanah. Tidak jarang juga muncul ke permukaan, nebeng tampil di panggung teman.
Yang mengherankan, kalau mengaku anti demokrasi, lalu mengapa HTI merasa sah melakukan berbagai aksi dan demonstrasi yang merupakan fasilitas demokrasi? Bahkan status ormas yang pernah mereka sandang, juga bagian dari produk demokrasi. Bukankah ini adalah standar ganda? Menganggap demokrasi sebagai sistem kafir, namun ketika menyangkut kepentingannya, seolah-olah label tersebut absen.
Jika dikuliti lebih dalam, sebenarnya demokrasi sangat sarat dengan prinsip dan nilai keislaman. Prinsip mendasar yang tercermin dari demokrasi adalah syura (musyawarah) dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Agar lebih meyakinkan, mari kita nukil salah satu firman Allah Swt: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [Asy-Syura: 38].
Melalui ranah sejarah, konsep tadi nampak pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab. Sebagai contoh, Abu Bakar membentuk Majlis Syura, tempat bermusyawarah dan meminta nasihat terkait kebijakan pemerintahan.
Dalam tataran pemerintahan, konsep syura adalah untuk mengevaluasi opini atau pandangan masyarakat umum yang berkaitan dengan kepentingan bersama agar situasi negara yang sehat dan kondusif dapat tercipta. Kegiatan tadi biasanya tercermin melalui dewan perwakilan. Yang perlu digarisbawahi, konsep ini sangat mengakomodir partisipasi semua pihak (termasuk rakyat). Prinsip syura ini menjadi indikator utama, bahwa Islam sangat kompatibel dengan demokrasi.
Selanjutnya, Islam juga mengandung prinsip hurriyat (kebebasan). Manusia diberi kebebasan untuk memilih maunpun berekspresi. Bahkan dalam perkara agama pun tak ada paksaan. Dalam hal ini, yang diakui tentulah kebebasan yang tidak mengganggu hak orang lain. Prinsip kebebasan tadi sejalan dengan konsep pengakuan dan jaminan atas HAM yang dikandung oleh demokrasi. Sebagaimana kita tahu, demokrasi mencerminkan pengakuan terhadap kedaulatan atas diri seseorang.
Lebih lanjut lagi, demokrasi adalah konsep yang menjamin persamaan, yakni semua orang memiliki derajat dan hak yang sama. Prinsip egaliter ini juga dikandung oleh ajaran Islam, dikenal dengan istilah al-musawat (persamaan). Sejarah membuktikan, datangnya Islam adalah untuk menjunjung prinsip ini. Penghapusan perbudakan yang Rasulullah SAW upayakan, adalah bukti bahwa kemanusiaan adalah misi agama. Sedangkan sistem kasta adalah produk usang masyarakat pra-Islam.
Untuk lebih mengenal hubungan antara Islam dan demokrasi, bisa dicermati melalui relasi antara Islam dan negara. Dalam ranah bernegara, baik demokrasi maupun agama akan timpang jika berjalan sendiri. Untuk itu keduanya hadir dengan kolaborasi dan hubungan simbiosis mutualisme.
Pandangan tersebut melihat bahwa, penguasa (negara) memerlukan legitimasi dari ulama (agama) yang bisa menawarkan kebaikan dan landasan moral karena posisinya sebagai penafsir ayat ketuhanan. Sedangkan ulama (agama) memerlukan proteksi dan keteraturan sosial dari negara agar Islam bisa berkembang.
Melihat hubungan tersebut, demokrasi tidaklah bersifat mutlak. Islam dan demokrasi saling beriringan, saling menjaga dan memantau untuk mencapai kebaikan dan maslahat dalam hidup bernegara.
Sedangkan, dalam sistem khilafah, seorang penguasa (khalifah) memiliki otoritas yang sangat besar, yang mengindikasikan kedekatannya dengan sikap otoriter. Dari sini terlihat bagaimana sistem khilafah yang didengungkan HTI, sangat mudah terjebak otoritarianisme. Perlu diingat, khilafah tidak masuk dalam ranah syariat, ia semata-mata adalah ijtihad. Sudah, tidak masalah, ijtihad keliru masih berpahala satu, kok.
Klaim antipati HTI terhadap demokrasi, tentu bukan tanpa dasar. Ismail Yusanto sendiri—juru bicara HTI— yang memberikan pernyataan tersebut, dan tersebar melalui berbagai media. Semangat demokrasi tentu lebih cocok dengan Indonesia yang serba plural ini.
Khilafah ala HTI, tidak lain adalah kehendak berkuasa yang memakai narasi agama untuk menarik simpatisan dan dukungan. Demokrasi memang produk asing, namun jelas ia sejalan dengan nafas dan prinsip Islam.
Dengan kata lain, meskipun gagasan impor, demokrasi masih bisa diselamatkan, Islam hadir sebagai juru selamat. Bahkan, kemudian keduanya dapat berkolaborasi dengan apik. Mempertentangkan keduanya sama dengan membuang energi. Sudah jelas bahwa Islam dan demokrasi mengandung nilai yang sama. Namun sayangnya, sampai detik ini, masih masif saja penolakan HTI terhadap demokrasi.